Laman

Minggu, 26 Mei 2013

MASJID SAKA TUNGGAL, CIKAKAK, BANYUMAS.


Gerbang Masjid Saka Tunggal Baitussalam


Nama resmi masjid ini adalah masjid  Saka Tunggal Baitussalam,  tapi lebih populer dengan nama masjid saka tunggal karena memang Masjid ini hanya mempunyai saka tunggal (tiang penyangga tunggal). Saka tunggal yang berada di tengah bangunan utama masjid, saka dengan empat sayap ditengahnya yang akan nampak seperti sebuah totem, bagian bawah dari saka itu dilindungi dengan kaca guna melindungi bagian yang terdapat tulisan tahun pendirian masjid tersebut.

Masjid saka tunggal berukuran 12 x 18 meter ini menjadi satu satunya masjid di pulau Jawa yang dibangun jauh sebelum era Wali Sembilan (Wali Songo) yang hidup sekitar abad 15-16M. Sedangkan masjid ini didirikan tahun 1288M, 2 abad sebelum Wali Songo. Sekaligus menjadikan Masjid Saka Tunggal Baitussalam sebagai Masjid Tertua di Indonesia.

Lokasi

Masjid Masjid Saka Tunggal Baitussalam berada di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon Banyumas.  Ditengah suasana pedesaan Jawa yang begitu kental Suasana pedesaan sangat kental. Di kawasan masjid yang dipenuhi dengan kera-kera yang berkeliaran bebas. Bangunan masjid juga sangat unik, beratapkan ijuk serta sebagian dindingnya dari anyaman bambu.

Sejarah Masjid Saka Tunggal

Masjid ini dibangun pada tahun 1288 Masehi sebagaimana tertulis di prasasti yang terpahat di saka masjid itu. lebih tua dari kerajaan majapahit yang berdiri tahun 1294 Masehi, masjid ini berdiri ketika masa kerajaan singasari. merupakan masjid tertua di indonesia.

Sejarah Masjid Saka tunggal senantiasa terkait dengan Tokoh penyebar Islam di Cikakak, bernama Mbah Mustolih yang hidup dalam Kesultanan Mataram Kuno. Itu sebabnya, tidak heran bila unsur Kejawen masih cukup melekat. Dalam syiar Islam yang dilakukan, Mbah Mustolih memang menjadikan Cikakak sebagai "markas" dengan ditandai pembangunan masjid dengan tiang tunggal tersebut.  Beliau dimakamkan tak jauh dari masjid Saka Tunggal.


Tradisi Unik Masjid Saka Tunggal, Banyumas

Zikir seperti melantunkan kidung jawa
Keunikan masjid saka tunggal Banyumas, benar benar terasa di hari Jum’at. Selama menunggu waktu sholat jum’at dan setelah sholat jum’at, Jamaah masjid Saka Tunggal berzikir dan bershalawat dengan nada seperti melantunkan kidung jawa. Dengan bahasa campuran Arab dan Jawa, tradisi ini disebut tradisi ura ura.

Pakaian Imam dan muazin
Imam masjid tidak menggunakan penutup kepala yang lazimnya digunakan di Indonesia yang biasanya menggunakan peci, kopiyah, tapi menggunakan udeng/pengikat kepala. khutbah jumat disampaikan seperti melantunkan sebuah kidung,

Empat muazin sekaligus
Empat orang muazim berpakaian sama dengan imam, menggunakan baju lengan panjang warna putih, menggunakan udeng bermotif batik, dan ke empat muazin tersebut mengumandangkan adzan secara bersamaan.

Semuanya dilakukan berjama’ah
Uniknya lagi, seluruh rangkaian sholat jumat dilakukan secara berjamaah, mulai dari shalat tahiyatul masjid, kobliah juma’at, shalat Jumat, ba’diah jum’at, shalat zuhur, hingga ba’diah zuhur. Semuanya dilakukan secara berjamaah.

Tanpa Pengeras Suara
Masjid Saka Tunggal Baitussalam hingga saat ini masih mempertahankan tradisi untuk tidak menggunakan pengeras suara. Meski demikian suara azan yang dilantunkan oleh empat muazin sekaligus, tetap terdengar begitu lantang dan merdu dari masjid ini.

Ritual Ganti Jaro, Masjid Saka Tunggal

Adalah ritual mengganti pagar bambu keliling masjid saka tunggal. Ritual ini diikuti oleh seluruh warga desa Cikakak. Dalam ritual yang mereka sebut ganti Jaro Rajapine. Saat membuat pagar ada beberapa pantangan yang harus ditaati. Mereka dilarang berbicara dengan suara keras serta tidak boleh menggunakan alas kaki. Sehingga yang terdengar hanya pagar bambu yang dipukul. Karena melibatkan ratusan warga, hanya dalam waktu 2 jam pagar sepanjang 300 meter ini selesai.

Selain bermakna kebersamaan dan gotong royong, tradisi ganti Jaro Rajab ini bagi warga di sini dipercaya bisa menghilangkan sifat jahat dari diri manusia. Pagar bambu ini selain mengelilingi Masjid Saka Tunggal juga makam Nyai Toleh. Seorang penyebar agama di Banyumas. Sejumlah utusan dari kraton Surakarta dan Ngayogjogkarta Hadiningrat ikut ambil bagian dalam acara ini dengan memanjatkan doa di makam, sebagai rasa syukur.

Ritual ganti Jaro Rajab ini kemudian diakhiri dengan prosesi arak arakan 5 gulungan yang berisi nasi tumpeng ini kemudian diperebutkan warga karena dipercaya bisa memberikan berkah.

Arsitektur Masjid Saka Tunggal, Banyumas

Salah satu keunikan Saka Tunggal adalah empat helai sayap dari kayu di tengah saka. Empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan ”papat kiblat lima pancer”, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang melambangkan api, angin, air, dan bumi.  Saka tunggal itu perlambang bahwa orang hidup ini seperti alif, harus lurus. Jangan bengkok, jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi manusia.

Empat mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh. ”Hidup itu harus seimbang,”

Papat kiblat lima pancer ini sama dengan empat nafsu yang ada dalam manusia. Empat nafsu yang dalam terminologi Islam-Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu bertarung dan memengaruhi watak manusia.

Keaslian yang masih terpelihara adalah ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imaman. Ada dua ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan kuno era Singasari dan Majapahit.

Kekhasan yang lain adalah atap dari ijuk kelapa berwarna hitam. Atap seperti ini mengingatkan atap bangunan pura zaman Majapahit atau tempat ibadah umat Hindu di Bali. Tempat wudu pun juga masih bernuansa zaman awal didirikan meskipun dindingnya sudah diganti dengan tembok.

Renovasi dan Benda Benda Peninggalan

Sejak tahun 1965 masjid ini sudah dua kali dipugar. Selain dinding tembok, juga diberi dinding anyaman bambu serta lapisan atap seng, Meski sebagian dinding telah direhab dengan tembok, tetapi arsitektur masjid tetap tidak diubah. Sehingga tidak ada perbedaan bentuk yang berarti dari awal berdiri hingga sekarang. Sedangkan tiang dari kayu jati yang menopang bangunan utama masjid dengan ukuran masih terlihat begitu kokoh. Selama ratusan tahun berdiri, warga dan jamaah di Cikakak sama sekali tidak mengganti bangunan utama yang ada di tempat itu, kecuali hanya membangun tembok sekeliling masjid sebagai penopang. Barang lainnya yang sampai sekarang masih tetap rapi dan dipelihara di antaranya adalah bedug, kentongan, mimbar masjid, tongkat khatib dan tempat wudlu.
 
Status
Sebagaimana tertulis dalam papan peringatan di sekitar  masjid, tertulis bahwa, Masjid Saka Tunggal Baitussalam, Desa Cikakak, Kabupaten Banyumas merupakan Benda Cagar Budaya/Situs dengan nomor 11-02/Bas/51/TB/04 dan dilindungi undang undang RI No. 5 tahun 1992 dan PP nomor 10 tahun 1993.

Sabtu, 25 Mei 2013

SUBHANALLAH,,,, MASJID DARI BATU YANG CUKUP BESAR


Suasana religi begitu terasa saat memasuki komplek masjid kaji watu, alam yang asri membuat suasana terasa sunyi, tempat banyak orang menyucikan hati. Sebuah bangunan indah yang terbuat dari pecahan-pecahan batu yang sangat besar.
13575991421378073966
masjid kaji watu banyumas /dok. pribadi
Banyumas – keberadaan tempat ibadah di kabupaten banyumas hampir merata di pelosok desa. Namun berbeda dengan masjid unik yang berada di wilayah propinsi Jawa Tengah yang konon hanya dibangun oleh seseorang kiyai sepuh yang sakti hanya dengan memanfaatkan satu batu raksaksa, tempat para makhluk halus berada.
LOKASI dan SARANA TRANSPORTASI
Masjid Kajiwatu terletak di Grumbul Kaligebang Desa Tamansari Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas, dari  kota purwokerto ke barat arah ajibarang cilongok, seteleh melewati museum jenderal soedirman dan melewati 2 sungai besar yaitu logawa dan mengaji maka anda akan memasuki desa tamansari. untuk menuju ke des ataman sari bisa menggunakan bis baik dari arah terminal purwokerto ataupun ajibarang. Sedangkan untuk memasuki ke dalam (lokasi masjid watu) ada koperades (angkutan pedesaan) namun sangat jarang. namun bagi yang ingin mencoba angkutan tradisional bisa menggunakan delman di pasar karanglewas ataupun di pertigaan desa tamansari. secara umum dapat di akses dari jalur tamansari ke notog patikraja. lebih mudah di akses dengan kendaraan pribadi baik sepeda motor dan mobil pribadi anda.
SEJARAH
Dalam perkembangan sejarah indonesia khususnya banyumas, masjid merupakan tempat ibadah umat islam sekaligus sebagai media penghimpun kekuatan dan berbagi strategi dalam peperangan. proses pembuatan Masjid watu sangat unik. yaitu dari watu yang sangat besar dibuat menjadi bangunan yang sangat luar biasa. Darsan di kala mudanya adalah penyebar islam di wilayah karanglewas, masjid waktu jamannya sangat jarang, untuk jumatan saja harus berjalan puluhan kilometer menuju masjid agung purwokerto. Darsan muda yang tergolong sakti dan pandai mengaji berusaha untuk menyebarkan islam di dukuh karanggebang, yang kemudian dikenal dengan eyang abdulah ngisa.
Haji Abdulah ngisa melaukan pembangunan mesjid bersama teman-teman dan santrinya dengan Batu yang sangat besar, sampai sekarang masih dapat dilihat bekas batu yang masih cukup besar di sebelah barat masjid kajiwatu tersebut. dengan berbekal ilmu pengetahuan dan kesaktiannya yang tentu saja dengan izin dan ridho Alloh SWT, eyang abdulah ngisa memecah batu, membentuk tiang, tembok, lantai dan semua instrumennya dengan batu. berbekal peralatan yang sederhana namun subhanalloh akhirnya terbentuk wujud mesjid yang dikenal dimana-mana dengan sebutan Masjid Kajiwatu.
13575995011281763011
saka tiang dari batu / dok. pribadi
memasuki ke dalam masjid yang sangat sederhana akan terlihat bangunan-bangunan dari batu yang sangat kerjas. ketika di pukul-pukul terasa batu itu sangat kekar menjaga bangunan rumah Tuhan.
1357599707383183491
mimbar tempat khutbah / dok. pribadi
suasana tenang di dominasi warna hijau yang menyejukan hati, tempat berdakwah atau khutbah di masjid kajiwatu ini juga menggunakan pecahan batu raksaksa.
13575998981808739374
atap masjid kaji watu / dok. pribadi
Desain arsitektur masjid watu juga masih kuat dengan kebudayaan masyarakat jawa. seni arsiteknya terlihat sederhana namun begitu indah.
Hingga kini keberadaan masjid kajiwatu cukup terawat, walaupun sudah di pugar beberapa kali namun masih tetap menjaga keaslian bangunan. Mari kita kenali warisan leluhur nusantara, jangan sekali kita melupaka sejarah bangsa. Dengan mempelajarai sejarah kita akan menjadi lebih bijak. Salam dari desa. ^_^

Jumat, 24 Mei 2013

CURUG CIPENDOK, BANYUMAS.







Curug Cipendok memiliki ketinggian sekitar 93 m dan masuk dalam wilayah Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur.

Lingkungan di sekitar curug ini masih terasa alami dengan hutan produksi dan lindung yang terjaga baik sehingga menjadi daya tarik tersendiri.  Kesunyian disekitar curug ini juga masih terasa dimana belum banyak pelancong yang datang menikmati keindahan alamnya.


Legenda

Nama Curug Cipendok bermula dari legenda yang masih berkaitan dengan sejarah Perang Diponegoro. Perang ini merupakan perang lima tahun (1825-1830) antara Pangeran Diponegoro melawan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Perang yang dimenangkan Belanda itu membuat seluruh wilayah kerajaan Surakarta termasuk wilayah Dulangmas, meliputi Kedu, Magelang, Banyumas berada dibawah kekuasaan pemerintahan kolonial.  Perjanjian tersebut tertuang dalam perjanjian Dulangmas

Salah satu wilayah Banyumas yaitu Ajibarang, saat itu dipimpin oleh seorang Wedana bernama Raden Ranusentika. Pada saat itu diberi tugas untuk melakukan kerja rodi, berupa pembukaan hutan belantara di sekitar lereng Gunung Slamet untuk dijadikan area perkebunan. Sudah delapan bulan lamanya beliau memimpin pembukaan hutan di lereng Gunung Slamet, namun belum juga mendapatkan hasil. Senantiasa terjadi keanehan, pada saat pohon-pohon selesai ditebang, esoknya tubuh lagi seperti semula. Seolah-olah seperti belum pernah ditebang sama sekali. Kejadian ini terjadi berulang-ulang, sehingga membuat bingung dan pusing Raden Ranusentika.
 

Karena baru kali ini menemukan permasalahan yang aneh, maka kemudian Raden Ranusentika berdoa dan bermohon kepada Tuhan dengan cara bertapa beberapa saat. Karena merasa belum mendapat petunjuk juga, beliau kemudian menyudahi bertapanya. Sembari mengusir kegundahan dan mencari jalan keluar, Raden Ranusentika pergi memancing ikan di dekat air terjun. Di tengah-tengahnya memancing, tiba-tiba beliau merasa kailnya seperti ditarik-tarik oleh ikan yang besar, sampai-sampai gagang pancingnya melengkung.


Namun alangkah terkejutnya, saat pancingnya ditarik bukannya ikan yang didapat, melainkan sebuah barang mirip cincin yang merupakan pendok atau cincin warangka keris yang bersinar kuning keemasan. Ketika didekatkan, tiba-tiba Raden Ranusentika bisa melihat banyak sekali makhluk halus yang berada di hutan yang telah ditebang habis. Mereka semua yang selama ini menggagalkan pekerjaan Raden Ranusentika.
 

Atas usulan Breden Santa, seorang kepala pekerja, air terjun dimana Raden Ranusentika menemukan pendok keris, dinamakan Curug Cipendok. Berasal dari kata curug yang berarti air terjun dan pendok atau cincin dari bilah keris.
 
Lokasi

Terletak di Desa Karang Tengah, Kecamatan Cilongok,Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah.

Peta dan Koordinat GPS: 7° 20' 11.72" S  109° 8' 12.52" E  


Aksesbilitas

Berjarak kurang lebih 15 km dari arah barat kota Purwokerto dengan waktu tempuh sekitar setengah jam atau sekitar 7 km dari Ajibarang.  Menuju Curug Cipendok tidaklah terlalu susah. Hanya saja, belum ada angkutan umum resmi yang sampai ke sana, sehingga kalau  mengunjungi tempat itu harus dengan kendaraan pribadi atau sewaan. 

Jika dari kota Purwokerto dengan melewati jalan Jend. Sudirman ke arah alun-alun. Kemudian lurus menuju ke jalan raya Losari, sekitar 7 km jauhnya dari Purwokerto.  Selanjutnya akan ditemui plang tanda jalan masuk ke curug yang keberadaannya disebelah kiri jalan raya.  Plang masuk ini berada di rambu lampu kuning berkelap-kelip di pertigaan jalan raya Cilongok.  Dari pertigaan ini ambil belokan ke kanan ke jalan raya Cilongok dengan jarak sekitar 8 km hingga pintu gerbang curug.   Kondisi jalan ini  cukup berkelok-kelok dan naik, namun kondisi jalan sudah beraspal semua dan ada penunjuk jalannya.

Sesampainya di pintu gerbang perjalanan diteruskan sekitar 1 km hingga tiba di lokasi area parkir.  Dan dari lokasi parkir ini untuk menuju ke Curug Cipendok perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati jalan setapak sejauh 500 meter dengan waktu tempuh sekitar 15-20 menit.


Tiket dan Parkir

Tiket masuk adalah Rp 6000 per orang, sudah termasuk asuransi kecelakaan.


Fasilitas dan Akomodasi


Tersedia tempat parkir, tempat istirahat, arena bermain anak-anak seperti ayunan dan kamar mandi.  Dilokasi curug ini terdapat menara pandang  yang dapat melihat pemandangan kota Purwokerto apabila cuaca sedang cerah. Juga sepanjang jalan menuju lokasi, banyak warung yang menjajakan mendoan, susu murni dan makanan kecil.  


Wisata Lain

Telaga Pucung yaitu sumber mata air Pucung yang berada di Kampung Panginyongan, yang ditampilkan dalam nuansa budaya Banyumasan. Di sini, suasana sangat hening dan asri, sesuai untuk melonggarkan pikiran sehingga sangat cocok untuk camping ground.  Selain keindahan alamnya yang masih asli, di sekitar telaga pucung juga masih terdapat elang dan macan (harimau) Jawa. Dimana keberadaannya kini semakin berkurang.

SEJARAH KABUPATEN BANYUMAS




Kabupaten Banyumas berdiri pada tahun 1582, tepatnya pada hari Jum`at Kliwon tanggal 6 April 1582 Masehi, atau bertepatan tanggal 12 Robiul Awwal 990 Hijriyah. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Daerah Tingkat II Banyumas Nomor 2 tahun 1990. Keberadaan sejarah Kabupaten Banyumas tidak terlepas dari pendirinya yaitu Raden Joko Kahiman yang kemudian menjadi Bupati yang pertama dikenal dengan julukan atau gelar ADIPATI MARAPAT (ADIPATI MRAPAT). Riwayat singkatnya diawali dari jaman Pemerintahan Kesultanan PAJANG, di bawah Raja Sultan Hadiwijaya.

Kisah pada saat itu telah terjadi suatu peristiwa yang menimpa diri (kematian) Adipati Wirasaba ke VI (Warga Utama ke I) dikarenakan kesalahan paham dari Kanjeng Sultan pada waktu itu, sehingga terjadi musibah pembunuhan di Desa Bener, Kecamatan Lowano, Kabupaten Purworejo (sekarang) sewaktu Adipati Wirasaba dalam perjalanan pulang dari pisowanan ke Paiang. Dari peristiwa tersebut untuk menebus kesalahannya maka Sultan Pajang, memanggil putra Adipati Wirasaba namun tiada yang berani menghadap. Kemudian salah satu diantaranya putra menantu yang memberanikan diri menghadap dengan catatan apabila nanti mendapatkan murka akan dihadapi sendiri, dan apabila mendapatkan anugerah/kemurahan putra-putra yang lain tidak boleh iri hati. Dan ternyata diberi anugerah diwisuda menjadi Adipati Wirasaba ke VII.

Semenjak itulah putra menantu yaitu R. Joko Kahiman menjadi Adipati dengan gelar ADIPATI WARGA UTAMA II. Kemudian sekembalinya dari Kasultanan Pajang atas kebesaran hatinya dengan seijin Kanjeng Sultan, bumi Kadipaten Wirasaba dibagi menjadi empat bagian diberikan kepada iparnya.
1. Wilayah Banjar Pertambakan diberikan kepada Kyai Ngabei Wirayuda.
2. Wilayah Merden diberikan kepada Kyai Ngabei Wirakusuma.
3. Wilayah Wirasaba diberikan kepada Kyai Ngabei Wargawijaya.
4. Wilayah Kejawar dikuasai sendiri dan kemudian dibangun dengan membuka hutan Mangli dibangun pusat pemerintahan dan diberi nama Kabupaten Banyumas.
Karena kebijaksanaannya membagi wilayah Kadipaten menjadi empat untuk para iparnya maka dijuluki Adipati Marapat.

Siapakah Raden Joko Kahiman itu?

R. Joko Kahiman adalah putra R. Banyaksasro dengan ibu dari Pasir Luhur. R. Banyaksosro adalah putra R. Baribin seorang pangeran Majapahit yang karena suatu kesalahan maka menghindar ke Pajajaran yang akhirnya dijodohkan dengan Dyah Ayu Ratu Pamekas putri Raja Pajajaran. Sedangkan Nyi Banyaksosro ibu R. Joko Kahiman adalah putri Adipati Banyak Galeh (Mangkubumi II) dari Pasir Luhur semenjak kecil R. Joko Kahiman diasuh oleh Kyai Sambarta dengan Nyai Ngaisah yaitu putrid R. Baribin yang bungsu.

Dari sejarah terungkap bahwa R. Joko Kahiman adalah merupakan SATRIA yang sangat luhur untuk bisa diteladani oleh segenap warga Kabupaten Banyumas khususnya karena mencerminkan :
a. Sifat altruistis yaitu tidak mementingkan dirinya sendiri.
b. Merupakan pejuang pembangunan yang tangguh, tanggap dan tanggon.
c. Pembangkit jiwa persatuan kesatuan (Majapahit, Galuh Pakuan, Pajajaran) menjadi satu darah dan memberikan kesejahteraan ke kepada semua saudaranya.

Dengan demikian tidak salah apabila MOTO DAN ETOS KERJA UNTUK Kabupaten Banyumas SATRIA. Candra atau surya sengkala untuk hari jadi Kabupaten Banyumas adalah "BEKTINING MANGGALA TUMATANING PRAJA" artinya tahun 1582. Bila diartikan dengan kalimat adalah "KEBAKTIAN DALAM UJUD KERJA SESEORANG PIMPINAN / MANGGALA MENGHASILKAN AKAN TERTATANYA ATAU TERBANGUNNYA SUATU PEMERINTAHAN".

PARA ADIPATI DAN BUPATI SEMENJAK BERDIRINYA KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 1582
1. R. Joko Kahiman, Adipati Warga Utama II (1582-1583)
2. R. Ngabei Mertasura (1583-1600)
3. R. Ngabei Mertasura II (Ngabei Kalidethuk) (1601 -1620)
4. R. Ngabei Mertayuda I (Ngabei Bawang) (1620 - 1650)
5. R. Tumenggung Mertayuda II (R.T. Seda Masjid, R.T. Yudanegara I) Tahun 1650 - 1705
6. R. Tumenggung Suradipura (1705 -1707)
7. R. Tumenggung Yudanegara II (R.T. Seda Pendapa) Tahun 1707 -1743.
8. R. Tumenggung Reksapraja (1742 -1749)
9. R. Tumenggung Yudanegara III (1755) kemudian diangkat menjadi Patih Sultan Yogyakarta bergelar Danureja I.
10. R. Tumenggung Yudanegara IV (1745
- 1780)
11. R.T. Tejakusuma, Tumenggung Kemong (1780 -1788)
12. R. Tumenggung Yudanegara V (1788 - 1816)
13. Kasepuhan : R. Adipati Cokronegara (1816 -1830)
Kanoman : R. Adipati Brotodiningrat (R.T. Martadireja)
14. R.T. Martadireja II (1830 -1832) kemudian pindah ke Purwokerto (Ajibarang).
15. R. Adipati Cokronegara I (1832- 1864)
16. R. Adipati Cokronegara II (1864 -1879)
17. Kanjeng Pangeran Arya Martadireja II (1879 -1913)
18. KPAA Gandasubrata (1913 - 1933)
19. RAA. Sujiman Gandasubrata (1933 - 1950)
20. R. Moh. Kabul Purwodireja (1950 - 1953)
21. R. Budiman (1953 -1957)
22. M. Mirun Prawiradireja (30 - 01 - 1957 /
15 - 12 - 1957)
23. R. Bayi Nuntoro (15 - 12 - 1957 / 1960)
24. R. Subagio (1960 -1966)
25. Letkol Inf. Sukarno Agung (1966 -1971)
26. Kol. Inf. Poedjadi Jaringbandayuda (1971 -1978)
27. Kol. Inf. R.G. Rujito (1978 -1988)
28. Kol. Inf. H. Djoko Sudantoko (1988 - 1998)
29. Kol. Art. HM Aris Setiono, SH, S.IP (1998 - 2008)
30. Drs. H. Mardjoko, M.M. (2008 - 2013).
31. Ir. Ahmad Husein (Bupati terpilih th 2012).